Monday, 23 November 2015

Penyalahgunaan kekuasaan sebagai salah satu pelanggaran etika politik



PANCASILA : PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN SEBAGAI SALAH SATU PELANGGARAN ETIKA POLITIK

Laila Said Nadiyah
150210301071
Program studi pendidikan ekonomi
Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas jember

ABSTRAK
Pancasila sebagai dasar negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Pancasila mempunyai definisi yang sangat fundamental, yaitu dasar falsafah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap warga Negara Indonesia harus mempelajari, mendalami, menghayati, dan mengamalkannya dalam segala bidang kehidupan. Fungsi Pancasila sebagai etika politik Indonesia semakin minim aplikasi. Hal ini terbukti dengan maraknya kasus penyalahgunaan kekuasaan yang semakin menyengsarakan rakyat. Cita-cita bangsa yang tertanam dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945, yang menghendaki rakyat yang adil dan makmur sudah terancam dengan munculnya berbagai kasus tersebut. Pengambilan keputusan pemerintah harusnya selalu didasarkan pada pancasila, karena Pancasila merupakan cita-cita bangsa dan merupakan jiwa bangsa Indonesia dalam segala aspek kehidupan. Terutama dalam pengambilan keputusan yang bersifat politik.
Kata kunci: Pancasila, Etika Politik, Penyalahgunaan Kekuasaan

PENDAHULUAN
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis da komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar (Kaelan, 2010).
Pancasila sebagai etika politik merupakan pokok bahasan yang penting untuk diketahui, karena Pancasila adalah dasar filasafat negara, ideologi negara dan pandangan hidup bangsa. Etika Politik dibuat demi kepentingan masyarakat, maka dari itu tujuannya harus demi kepentingan masyarakat seluruhnya, dalam hal ini seluruh masyarakat Indonesia. Jadi sebagai pedoman perbuatan dan tindakan politik, etika politik Pancasila harus sesuai dengan pribadi masyarakat Indonesia. Seperti yang kita ketahui, saat ini berbuat dan bertindak di bidang politik sesuai dengan etika Politik Pancasila itu sungguh tidak mudah. Hal itu dikarenakan egoisme masyarakat yang enggan memperhatikan kepentingan dan melayani orang/kelompok lain. Maka dari itu sebagai langkah awal perlu kita internalisasikan ke dalam hati kita masing-masing bahwa keselamatan dan kebahagiaan bermasyarakat, bangsa dan negaraku adalah keselamatan dan kebahagiaanku, dan sebaliknya keselamatan dan kebahagiaanku adalah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaraku juga. Berperilaku, bertindak dan berbuat di bidang politik yang dapat dinilai buruk itu mudah sekali, tetapi yang dapat dinilai baik itu memang tidak mudah. Maka dari itu seluruh warga bangsa Indonesia perlu berlatih dan membiasakan diri kepada yang baik itu.

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
Etika
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika sendiri dibagi menjadi dua kelompok, yakni etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas tentang kewajiban manisia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dpat disebut susila atau bijak. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika berkaitan erat dengan nilai, norma dan moral. Nilai sendiri ukurannya berdasarkan norma atau aturan yang berlaku dalam masyarakat, dan orang yang taat terhadap norma yang ada maka dapat disebut dengan istilah orang yang bermoral. Hubungan antara etika dan moral sangat erat tapi keduanya merupakan hal yang berbeda. Etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan, adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan pengertian moral, sehingga etika hakikatnya adalah sebagai ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas (Darmodihardjo, 1996)
Politik
Definisi dan makna politik secara umum yaitu sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat.Pengertian politik berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna bermacam macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yangmana menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem politik itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau ”decisionmaking”  mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skla prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu. operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation) (Budiardjo, 1981).

Nilai-nilai pancasila sebagai etika politik.
Berbicara tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, manjadi suatu kajian yang menarik. Hal ini karena saat ini Indonesia berada pada era kebabasan berpolitik setelah melampaui masa kelam berpolitik. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Namun dalam perjalanannya, tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Ini dapat terlihat bagaimana saat ini para elit berkuasa lebih mudah menghalalkan segala cara apapun untuk mewujudkan kepentingannya. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Sebagai dasar filsafat negara pancasila tidak hanya menjadi sumber derevasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan,hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Dalam hal ini etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan:
1. Asas legalitas, yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. disahkan dan dijalankan secara demokratis.
3. dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangnan dengannya (Suseno, 1987).
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila 1) serma moral kemanusiaan (sila 2). Hal ini ditegaskan oleh Hatta saat mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus kedalam negara kekuasaan. Negara adalah berasal dari rakyat dan semua kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijakan, kekuasaan serta wewenang harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung negara (Kaelan, 2010).
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR, aparat pelaksana dan penegak hukum, harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan demokratis juga harus bersandar pada legitimasi moral, misalnya suatu kebijaksanaan itu sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu sesuai dengan legitimasi moral. Misalnya gaji pejabat anggota DPR, MPR itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral.

PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN
Pengertian
Ada berbagai macam pelanggaran terhadap etika politik yang ada di negara Indonesia, salah satunya adalah penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of power ). Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Adakalanya tindakan  penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut disebabkan karena kebijakan publik yang hanya dipandang sebagai kesalahan prosedur dan administratif, akan tetapi apabila dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang berakibat pada kerugian perekonomian dan keuangan negara, maka sesungguhnya itu adalah tindak pidana.
Terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan ini, dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, “Bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.”
Pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
1.      Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2.      Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3.      Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana (Khairunas.2015)
Secara Yuridis untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” (geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau  there is no authoritu without responbility) (Nur Basuki Minarno, 2009).
Ada peribahasa yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang tidak terkontrol akan menjadi semakin besar, beralih menjadi sumber terjadinya berbagai penyimpangan. Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan korupsi. Jumlah kasus penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerintahan hingga harus berakhir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terus meningkat, meskipun pemerintah banyak melakukan upaya pencegahan dan penindakan.

Bentuk- bentuk penyalahgunaan kekuasaan
Penyalahgunaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 bukanlah satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan lainnya yaitu tindak pidana penyuapan kepada aparatur negara, tindak pidana gratifikasi kepada aparatur negara dan tindak pidana pemerasan oleh pejabat/aparatur negara. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi tersebut masing-masing diatur dalam pasal tersendiri dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Untuk tindak pidana korupsi suap ini, diatur dalam Pasal 5 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), baik terhadap pemberi suap maupun terhadap penerima suap.
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B, Gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, sedangkan yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut dilakukan oleh penuntut umum.
Ancaman pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Mencermati apa yang dikemukakan di atas, maka penyalahgunaan kewenangan dalam kekuasaan atau jabatan dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Hal ini dimaksudkan karena perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan perbuatan yang tercela, oleh karena orang cenderung melaksanakan sesuatu tidak sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi yang seharusnya dilaksanakan. Akan tetapi malahan sebaliknya, yaitu memanfaatkan kesempatan yang ada dengan kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan perundang-undangan mengatur tentang bagaimana perbuatan atau tindakan penyalahgunaan kewenangan itu bersifat merugikan keuangan negara.
Jika dilihat pada penanganan kasus pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, hampir terjadi pada setiap Kementerian dan Lembaga, termasuk pada Kementerian Agama juga tidak luput dari adanya pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Upaya dari pemerintah untuk memerangi korupsi dan dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, Presiden melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004, telah menginstruksian kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu agar melakukan langkah dan program kongkrit percepatan pemberantasan korupsi;  Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Terakhir Inpres No 2 Tahun 2014 tanggal 21 Maret 2014 tentang Aksi Penceghan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2014. Semakin gencar upaya pemerintah untuk memberantas Korupsi ini, tetapi kenyataannya korupsi bukan berkurang, Korupsi makin menggeliat untuk meningkat. Bahkan realitas korupsi telah dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari “Lintas Kekuasaan”.

KESIMPULAN
·      Pancasila tidak hanya sumber peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
·      Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiga hal yaitu : (1) legitimasi hukum (2) legatimasi demokratis, dan (3) legitimasi moral.
·      Penyalahgunaan wewenang adalah salah satu pelanggaran etika politik, hal ini berupa tindakan yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam.1981. Dasar-dasar Ilmu Politik.Gramedia : Jakarta.
Darmodihardjo darji dkk. 1996. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia. Penerbit Rajawali : Jakarta.
Kattsoff, Louis O. 1986. Pengantar Filsafat, dialihbahasakan oleh: Soejono soemargono. Tiara Wacana : Yogyakarta.
Kaelan.2010. Pendidikan Pancasila, Paradigma : Yogyakarta.
Minarno,Nur Basuki.2009. Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Laksbang Mediatama  Palangkaraya
Suseno Von Magnis.1987. Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. PT. Gramedia : Jakarta

No comments:

Post a Comment