PANCASILA
: PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN SEBAGAI SALAH SATU PELANGGARAN ETIKA POLITIK
Laila Said Nadiyah
150210301071
Program studi pendidikan ekonomi
Fakultas keguruan dan ilmu
pendidikan universitas jember
Email : Lailasaid617@gmail.com
ABSTRAK
Pancasila sebagai dasar negara,
pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tidak
lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam jiwa
Pancasila. Pancasila mempunyai definisi yang sangat fundamental, yaitu dasar
falsafah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh
karena itu, setiap warga Negara Indonesia harus mempelajari, mendalami,
menghayati, dan mengamalkannya dalam segala bidang kehidupan. Fungsi Pancasila
sebagai etika politik Indonesia semakin minim aplikasi. Hal ini terbukti dengan
maraknya kasus penyalahgunaan kekuasaan yang semakin menyengsarakan rakyat.
Cita-cita bangsa yang tertanam dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang
kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945, yang menghendaki rakyat yang
adil dan makmur sudah terancam dengan munculnya berbagai kasus tersebut.
Pengambilan keputusan pemerintah harusnya selalu didasarkan pada pancasila, karena
Pancasila merupakan cita-cita bangsa dan merupakan jiwa bangsa Indonesia dalam
segala aspek kehidupan. Terutama dalam pengambilan keputusan yang bersifat
politik.
Kata kunci: Pancasila, Etika
Politik, Penyalahgunaan Kekuasaan
PENDAHULUAN
Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga
merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral
maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya
suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis
da komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai.
Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan
norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis
melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar (Kaelan, 2010).
Pancasila
sebagai etika politik merupakan pokok bahasan yang penting untuk diketahui,
karena Pancasila adalah dasar filasafat negara, ideologi negara dan pandangan
hidup bangsa. Etika Politik dibuat demi kepentingan masyarakat, maka dari itu
tujuannya harus demi kepentingan masyarakat seluruhnya, dalam hal ini seluruh masyarakat
Indonesia. Jadi sebagai pedoman perbuatan dan tindakan politik, etika politik Pancasila
harus sesuai dengan pribadi masyarakat Indonesia. Seperti yang kita ketahui,
saat ini berbuat dan bertindak di bidang politik sesuai dengan etika Politik
Pancasila itu sungguh tidak mudah. Hal itu dikarenakan egoisme masyarakat yang enggan memperhatikan kepentingan dan melayani
orang/kelompok lain. Maka dari itu sebagai langkah awal perlu kita
internalisasikan ke dalam hati kita masing-masing bahwa keselamatan dan kebahagiaan
bermasyarakat, bangsa dan negaraku adalah keselamatan dan kebahagiaanku, dan sebaliknya
keselamatan dan kebahagiaanku adalah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat,
bangsa dan negaraku juga. Berperilaku, bertindak dan berbuat di bidang politik
yang dapat dinilai buruk itu mudah sekali, tetapi yang dapat dinilai baik itu
memang tidak mudah. Maka dari itu seluruh warga bangsa Indonesia perlu berlatih
dan membiasakan diri kepada yang baik itu.
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
Etika
Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan
pelbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika sendiri dibagi menjadi dua
kelompok, yakni etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika
khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek
kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual
yang membahas tentang kewajiban manisia terhadap diri sendiri dan etika sosial
yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup
masyarakat yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika
berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan
tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat “baik” dan “buruk”.
Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang
dpat disebut susila atau bijak. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan
dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran hubungan dengan tingkah laku manusia
(Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar
filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika
berkaitan erat dengan nilai, norma dan moral. Nilai sendiri ukurannya
berdasarkan norma atau aturan yang berlaku dalam masyarakat, dan orang yang
taat terhadap norma yang ada maka dapat disebut dengan istilah orang yang
bermoral. Hubungan antara etika dan moral sangat erat tapi keduanya merupakan
hal yang berbeda. Etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
kesusilaan, adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan
pengertian moral, sehingga etika hakikatnya adalah sebagai ilmu yang membahas
tentang prinsip-prinsip moralitas (Darmodihardjo, 1996)
Politik
Definisi
dan makna politik secara umum yaitu sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau
membangun posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai
pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat.Pengertian
politik berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna bermacam macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yangmana menyangkut proses
penentuan tujuan-tujuan dari sistem politik itu dan diikuti dengan pelaksanaan
tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau ”decisionmaking” mengenai apakah yang menjadi tujuan dari
sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan
skla prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu. operasional bidang
politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan
(policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation) (Budiardjo, 1981).
Nilai-nilai pancasila sebagai etika politik.
Berbicara tentang etika
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, manjadi suatu kajian yang
menarik. Hal ini karena saat ini Indonesia berada pada era kebabasan berpolitik
setelah melampaui masa kelam berpolitik. Seiring dengan datangnya era reformasi
pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era
otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan
perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan,
termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Namun dalam
perjalanannya, tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, lambat laun
tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Ini dapat terlihat bagaimana
saat ini para elit berkuasa lebih mudah menghalalkan segala cara apapun untuk
mewujudkan kepentingannya. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai
etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai
dasar filsafat negara pancasila tidak hanya menjadi sumber derevasi peraturan
perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam
hubungannya dengan legitimasi kekuasaan,hukum serta berbagai kebijakan dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Dalam hal ini etika politik menuntut
agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan:
1.
Asas legalitas, yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.
2.
disahkan dan dijalankan secara demokratis.
3.
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangnan dengannya
(Suseno, 1987).
Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan,
kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus
berdasarkan legitimasi moral religius (sila 1) serma moral kemanusiaan (sila
2). Hal ini ditegaskan oleh Hatta saat mendirikan negara, bahwa negara harus
berdasarkan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus kedalam negara kekuasaan.
Negara adalah berasal dari rakyat dan semua kebijaksanaan dan kekuasaan yang
dilakukan senantiasa untuk rakyat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara segala kebijakan, kekuasaan serta wewenang harus
dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung negara (Kaelan, 2010).
Etika
politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat
secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif,
anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun
MPR, aparat pelaksana dan penegak hukum, harus menyadari bahwa selain
legitimasi hukum dan demokratis juga harus bersandar pada legitimasi moral,
misalnya suatu kebijaksanaan itu sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu sesuai
dengan legitimasi moral. Misalnya gaji pejabat anggota DPR, MPR itu sesuai
dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu
layak secara moral.
PENYALAHGUNAAN
KEKUASAAN
Pengertian
Ada berbagai macam
pelanggaran terhadap etika politik yang ada di negara Indonesia, salah satunya
adalah penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of power ). Abuse of power adalah
tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk
kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau
korporasi. Adakalanya tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut
disebabkan karena kebijakan publik yang hanya dipandang sebagai kesalahan
prosedur dan administratif, akan tetapi apabila dilakukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang berakibat pada
kerugian perekonomian dan keuangan negara, maka sesungguhnya itu adalah tindak
pidana.
Terkait tindak pidana
penyalahgunaan wewenang jabatan ini, dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun
1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, “Bahwa setiap orang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.”
Pengertian mengenai
penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3
(tiga) wujud, yaitu:
1.
Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2.
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan
pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau
peraturan-peraturan lainnya;
3.
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan
prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana (Khairunas.2015)
Secara Yuridis untuk mengetahui penyalahgunaan
wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari segi
sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam
setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat
pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” (geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there
is no authoritu without responbility) (Nur Basuki Minarno, 2009).
Ada peribahasa yang
mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang tidak
terkontrol akan menjadi semakin besar, beralih menjadi sumber terjadinya
berbagai penyimpangan. Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan
untuk melakukan korupsi. Jumlah kasus penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat
pemerintahan hingga harus berakhir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terus
meningkat, meskipun pemerintah banyak melakukan upaya pencegahan dan
penindakan.
Bentuk- bentuk penyalahgunaan kekuasaan
Penyalahgunaan kewenangan
yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001
bukanlah satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain penyalahgunaan
kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001
tersebut, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan lainnya yaitu tindak pidana penyuapan
kepada aparatur negara, tindak pidana gratifikasi kepada aparatur negara dan
tindak pidana pemerasan oleh pejabat/aparatur negara. Ketiga bentuk tindak
pidana korupsi tersebut masing-masing diatur dalam pasal tersendiri dalam UU
Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Untuk tindak pidana korupsi
suap ini, diatur dalam Pasal 5 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), baik terhadap pemberi suap
maupun terhadap penerima suap.
Gratifikasi diatur dalam
Pasal 12B, Gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi, sedangkan yang nilainya kurang dari
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
dilakukan oleh penuntut umum.
Ancaman pidana bagi pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Mencermati apa yang
dikemukakan di atas, maka penyalahgunaan kewenangan dalam kekuasaan atau
jabatan dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Hal ini dimaksudkan
karena perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan perbuatan yang tercela, oleh
karena orang cenderung melaksanakan sesuatu tidak sesuai dengan tugas, pokok
dan fungsi yang seharusnya dilaksanakan. Akan tetapi malahan sebaliknya, yaitu
memanfaatkan kesempatan yang ada dengan kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki
untuk melakukan tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan perundang-undangan
mengatur tentang bagaimana perbuatan atau tindakan penyalahgunaan kewenangan
itu bersifat merugikan keuangan negara.
Jika dilihat pada
penanganan kasus pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, hampir terjadi pada setiap Kementerian dan
Lembaga, termasuk pada Kementerian Agama juga tidak luput dari adanya pejabat
yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Upaya dari pemerintah
untuk memerangi korupsi dan dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi,
Presiden melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004, telah menginstruksian kepada para
Menteri Kabinet Indonesia Bersatu agar melakukan langkah dan program kongkrit
percepatan pemberantasan korupsi; Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2011
tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Terakhir Inpres No 2 Tahun
2014 tanggal 21 Maret 2014 tentang Aksi Penceghan dan Pemberantasan Korupsi
Tahun 2014. Semakin gencar upaya pemerintah untuk memberantas Korupsi ini,
tetapi kenyataannya korupsi bukan berkurang, Korupsi makin menggeliat untuk
meningkat. Bahkan realitas korupsi telah dilakukan oleh orang-orang yang
berasal dari “Lintas Kekuasaan”.
KESIMPULAN
·
Pancasila tidak hanya
sumber peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas
terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai
kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
·
Prinsip-prinsip dasar
etika politik itu dalam realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa
dilaksanakan secara korelatif diantara ketiga hal yaitu : (1) legitimasi hukum
(2) legatimasi demokratis, dan
(3) legitimasi moral.
·
Penyalahgunaan wewenang adalah salah
satu pelanggaran etika politik, hal ini berupa tindakan yang dilakukan seorang
pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang
lain atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau
perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo,
Miriam.1981. Dasar-dasar Ilmu Politik.Gramedia
: Jakarta.
Darmodihardjo darji dkk. 1996. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Sistem Hukum
Indonesia. Penerbit Rajawali : Jakarta.
Kattsoff, Louis O. 1986. Pengantar Filsafat, dialihbahasakan oleh: Soejono soemargono. Tiara
Wacana : Yogyakarta.
Kaelan.2010. Pendidikan
Pancasila, Paradigma : Yogyakarta.
Minarno,Nur
Basuki.2009. Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Laksbang Mediatama Palangkaraya
Suseno Von Magnis.1987. Etika
Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. PT. Gramedia :
Jakarta
Khairunas.2015. Tiga Wujud
Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Administrasi. Online . (http://iainptk.ac.id/tiga-wujud-penyalahgunaan-wewenang-dalam-hukum-administrasi/)
diakses tanggal 23 November 2015.
No comments:
Post a Comment